MENARADARUSSALAM – Senator Mirah Midadan Fahmid dari Nusa Tenggara Barat (NTB) mengungkapkan keprihatinannya terhadap alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan di provinsi tersebut.
Mirah menyoroti bahwa sekitar 10.000 hektare lahan pertanian di NTB hilang setiap tahunnya, terutama akibat pembangunan perumahan. Data ini menunjukkan ancaman serius terhadap ketahanan pangan dan ekosistem di wilayah tersebut.
“Dari total 270.000 hektare lahan produksi di NTB, penyusutan sebesar 10.000 hektare per tahun adalah angka yang signifikan. Masalah ini tidak hanya mengancam ketersediaan pangan, tetapi juga keberlanjutan ekonomi masyarakat yang bergantung pada sektor agraris,” ujar Mirah.
Alih fungsi ini dipengaruhi oleh tingginya permintaan perumahan akibat backlog, urbanisasi, dan pertumbuhan populasi di perkotaan. Di sisi lain, mahalnya lahan non-pertanian yang strategis memaksa pengembang mencari alternatif di lahan pertanian.
“Permasalahan ini tidak hanya soal penyediaan perumahan. Kita juga harus memikirkan dampak jangka panjang terhadap ketahanan pangan nasional. Pengembangan kawasan pemukiman tidak boleh mengorbankan lahan pertanian yang strategis,” tambah Mirah.
Sebagai solusi, Anggota Komite II DPD RI tersebut mengajukan sejumlah pendekatan, termasuk adopsi praktik internasional yang relevan. Salah satunya adalah pemanfaatan lahan Brownfield atau lahan bekas industri seperti di Inggris.
“Langkah ini memungkinkan regenerasi lahan yang sudah tidak produktif tanpa mengorbankan lahan pertanian,” jelasnya.
Ia juga menyarankan konsep cohousing dari Denmark, yang dinilai sesuai dengan budaya masyarakat NTB. Pendekatan ini mendukung pemanfaatan lahan secara efisien sambil tetap menjaga interaksi sosial.
Untuk melindungi lahan pertanian, Mirah menekankan pentingnya insentif pemerintah, seperti sertifikasi lahan sawah, akses pendidikan, layanan kesehatan, serta infrastruktur yang mendukung produktivitas petani.
“Pemerintah perlu menawarkan program insentif yang menarik, seperti sertifikasi lahan sawah, akses pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur yang mendukung,” tambahnya.
Mirah juga mendorong penguatan regulasi terkait alih fungsi lahan, termasuk penetapan lahan sawah dilindungi (LSD) dan insentif yang benar-benar bermanfaat bagi petani tanpa tumpang tindih dengan program lain.
“Budaya masyarakat NTB lebih condong pada hunian horizontal dengan pekarangan luas. Selain itu, daya beli masyarakat pedesaan yang sebagian besar berpenghasilan menengah ke bawah membuat rumah susun menjadi kurang terjangkau,” paparnya.
Dengan berbagai usulan strategis ini, Mirah berharap pemerintah pusat dan daerah dapat berkolaborasi untuk merumuskan kebijakan yang seimbang antara kebutuhan perumahan dan pelestarian lahan pertanian.
“Kita perlu merumuskan kebijakan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan hunian masyarakat, tetapi juga melindungi sumber daya yang menjadi fondasi keberlanjutan bangsa ini,” tutup Mirah.***