LHOKSUKON – Proyek Rehabilitasi Bendung Daerah Irigasi (DI) Krueng Pase di Aceh Utara direncanakan untuk diselenggarakan dalam tender oleh Balai Pelaksana Pemilihan Jasa Konstruksi (BP2JK) Wilayah Aceh pada pekan keempat bulan Oktober 2023. Saat ini, Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera-I, yang berada di bawah Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sedang dalam proses persiapan dokumen untuk pengajuan tender kepada BP2JK yang merupakan bagian dari Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR.
Bendung DI Krueng Pase, yang terletak di perbatasan antara Desa Leubok Tuwe Kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara, dengan Desa Maddi Kecamatan Nibong, Aceh Utara, direncanakan akan mengairi lahan persawahan seluas 8.922 hektar. Proses persiapan dan koordinasi masih terus berlangsung dengan BP2JK, yang mencakup diskusi mengenai harga perkiraan sendiri (HPS), gambar, dan spesifikasi proyek.
Menurut Pejabat Pembuat Komitmen Irigasi dan Rawa II Satuan Non Vertikal Tertentu Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air (SNVT PJPA) BWS Sumatera I, Syafrepi Hasibuan ST, proyek ini diharapkan bisa dilakukan tender paling lambat pada akhir Oktober 2023, dengan target selesai kontrak pada Januari 2024.
Pihak BWS Sumatera-I yakin bahwa proyek ini dapat terealisasi sesuai jadwal tender Oktober 2023 karena dokumen dan persiapan lainnya, seperti spesifikasi, gambar, dan HPS, sudah selesai.
Sebelumnya, proyek rehabilitasi ini diberikan kepada PT Rudi Jaya dari Sidoarjo, Jawa Timur, dengan nilai kontrak Rp 44,8 miliar dan didanai oleh APBN. Namun, proyek tersebut tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang ditentukan, yang berlangsung dari 12 Oktober 2021 hingga 30 Desember 2022. Setelah diberikan perpanjangan waktu, pihak BWS Sumatera-I akhirnya memutuskan kontrak dengan perusahaan tersebut pada Maret 2023 karena tidak ada aktivitas pembangunan yang dilakukan di lokasi Bendung Krueng Pase.
Akibatnya, sekitar 8.922 hektar lahan persawahan di delapan kecamatan di Kabupaten Aceh Utara dan satu kecamatan di Lhokseumawe tidak dapat dimanfaatkan selama tiga tahun terakhir. Hal ini mengakibatkan petani mengalami kerugian pendapatan mencapai Rp 2 triliun menurut perhitungan Dinas Pertanian dan Pangan Aceh Utara.