Aceh – Harga beras di seluruh kabupaten kota se-Aceh sedang mengalami kenaikan yang signifikan. Banyak pedagang dan masyarakat yang mengeluhkan situasi ini. Peningkatan harga beras ini disebabkan oleh banyak lahan pertanian pada musim tanam gadu 2023 yang tidak ditanami padi karena kekurangan sumber air untuk mengairi lahan pertanian warga.
Musim kemarau juga memperparah situasi ini, bahkan beberapa daerah di Aceh mengalami kegagalan panen.
Menurut Teuku Saiful Bahri, seorang akademisi dari Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK), naiknya harga pangan juga disebabkan oleh ketidakjelasan sistem informasi pangan.
“Kita tidak mengetahui berapa banyak cadangan pangan yang dimiliki oleh pengusaha dan masyarakat. Mungkin kondisi krisis pangan ini disebabkan oleh manipulasi harga pangan, terlebih lagi karena ini mendekati tahun politik,” ujar Saiful.
Lebih lanjut, Saiful mengusulkan beberapa langkah yang tepat untuk mengatasi masalah kenaikan harga beras. Pertama, perlu melakukan perbaikan di sisi produksi. Ini berarti infrastruktur pertanian seperti irigasi perlu diperbaiki. Selain itu, petani juga perlu mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas mereka, sekaligus kesejahteraan.
“Kenaikan harga beras bukan hanya masalah bagi konsumen, tapi juga bagi kesejahteraan petani. Jadi, kedua aspek ini harus dijaga agar tetap stabil,” jelasnya.
Langkah kedua, tambahnya, adalah memperbaiki sistem distribusi padi.
“Ketika musim panen padi, produksi melimpah, tapi industri pengolahan tidak mampu menampungnya. Ini bisa disebabkan oleh masalah modal atau hambatan teknologi, sehingga gabah kering banyak dijual ke Provinsi Sumut,” tambahnya.
Menurut Saiful, Aceh memiliki surplus padi namun tidak dengan beras, maka tidak mengherankan jika Aceh banyak mengimpor beras.
“Oleh karena itu, perlu dibangun industri pengolahan padi di Aceh yang mampu menampung seluruh hasil produksi, agar pertanian kita tidak tergantung pada impor,” tambahnya.
Solusi berikutnya, kata Saiful, adalah memastikan bahwa pertumbuhan teknologi di sektor pertanian diikuti dengan perkembangan teknologi di tingkat pengolahan. Sebagai contoh, Saiful menyebutkan penggunaan combine harvester dalam panen padi.
“Alat ini memang memungkinkan efisiensi yang tinggi, cepat, dan murah. Namun, memanen dengan combine harvester mengakibatkan kadar air lebih tinggi dibandingkan dengan panen manual. Oleh karena itu, sistem pengeringan di tingkat pengolahan harus canggih dan tidak dapat menggunakan pengering rantai jemur,” terangnya lagi.
Menurutnya, pemerintah harus memikirkan bagaimana teknologi di pengolahan bisa memadai, apakah melalui pembiayaan yang terjangkau atau melalui skema kerjasama antara pemerintah dan dunia usaha.
Selain itu, menurut Saiful, perlu adanya sistem cadangan pangan yang kuat dari pemerintah. Dengan membanjiri pasar dengan stok pangan pemerintah, harga pangan tidak akan terlalu tinggi. Ini berarti petani tetap mendapatkan keuntungan dan masyarakat mampu membeli pangan.
Saiful juga menekankan pentingnya koordinasi yang baik antara pemerintah dan sektor lain untuk merespon setiap kondisi.
“Contohnya, saat ini banyak irigasi yang sedang diperbaiki ketika musim tanam tiba, sehingga petani terpaksa tidak bisa menanam karena lahan sawah tidak mendapatkan air. Ditambah lagi dengan musim kemarau,” ujarnya.
Oleh karena itu, perencanaan untuk sektor pertanian harus menjadi prioritas di masa mendatang karena Aceh adalah daerah agraris dengan banyak petani yang perlu meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Selain itu, fokus juga harus diberikan pada pangan karena masalah El Nino dan krisis pangan global. Oleh karena itu, diperlukan strategi dan rencana aksi daerah untuk menciptakan ketahanan pangan dan kemandirian pangan,” pungkasnya.