Banda Aceh – Ombudsman RI Perwakilan Aceh bersinergi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh untuk mengadakan diskusi tentang pelaksanaan perizinan penangkapan ikan terukur (PIT) yang baru-baru ini diumumkan oleh pemerintah.
Tindakan ini dilakukan sebagai tanggapan terhadap keluhan para nelayan mengenai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang mengatur batasan area penangkapan ikan di laut.
Acara diskusi ini dihadiri oleh Kepala Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Aceh, pelaku usaha perikanan, perwakilan dari Panglima Laot, akademisi, perwakilan nelayan, dan berbagai pihak lainnya. Diskusi ini diadakan dalam format hybrid, baik secara langsung maupun daring.
Kegiatan ini berlangsung di ruang pertemuan DKP Aceh pada Jumat (25/8), dan dibuka oleh Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh, Aliman. Tujuan dari acara ini adalah untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat mengenai peraturan baru dalam bidang penangkapan ikan, yang mencakup tata ruang dan pemanfaatan sumber daya kelautan.
Dalam pidatonya, Aliman, sebagai Kepala DKP Aceh, menyebutkan adanya tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, terutama di Aceh yang memiliki regulasi sendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang diikuti oleh Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perikanan.
Aliman menekankan pentingnya penyelarasan antara berbagai regulasi yang ada, mengingat masih adanya tumpang tindih dalam peraturan saat ini. Dia juga menyoroti masalah kapal yang tidak terdaftar dalam sistem kementerian, sehingga beberapa kapal harus dicatat secara manual. Meskipun regulasi baru telah diterapkan, proses perizinan masih menemui kendala, sehingga sementara ini perizinan lama masih digunakan.
Aliman juga menyoroti beban biaya negara yang tidak berbentuk pajak (PNBP) dalam regulasi baru ini, yang dianggap memberatkan masyarakat, sehingga menimbulkan penolakan dari nelayan.
Di sisi lain, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty, juga mengungkapkan masalah terkait proses perizinan di sektor perikanan yang masih terkendala dalam sistem Online Single Submission (OSS), sehingga perlu disinkronisasi.
Sementara Saputra Malik, Asisten V Ombudsman RI yang fokus pada bidang kelautan dan perikanan, mencatat bahwa peraturan baru, yakni PP Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, masih memiliki potensi maladministrasi dalam berbagai aspek implementasinya. Hal ini termasuk penetapan kuota, transparansi kuota melalui sistem informasi digital, wewenang pemberian kuota oleh Menteri dan Gubernur, serta status nelayan kecil yang dapat mengajukan kuota industri.
Kepala PSDKP Aceh, Sahono Budianto, menyoroti bahwa regulasi terpadu untuk penangkapan ikan masih berada dalam bentuk PP, dan masih dalam proses untuk diturunkan menjadi Peraturan Menteri (Permen). Sahono menjelaskan bahwa kewenangan diatur berdasarkan jarak dari pantai, di mana 12 mil di bawah pantai menjadi kewenangan Gubernur, dan di atas 12 mil menjadi kewenangan Kementerian.
Diskusi ini juga mengungkapkan kekhawatiran terkait besaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dianggap terlalu besar oleh nelayan. Pengusaha perikanan, seperti Tarmizi atau Toke Midi, juga mengeluhkan regulasi ini karena daerah perairan di Aceh masih memiliki banyak terumbu karang dan jarang terdapat ikan besar, sehingga hasil tangkapan minim.
Aliman menutup diskusi dengan harapan bahwa saat peraturan baru ini diterapkan, jumlah petugas di setiap pelabuhan perlu ditingkatkan.
Dia menekankan bahwa pihaknya sebagai penyelenggara pelayanan ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan berharap peraturan baru ini akan membawa perubahan positif.