Sebagai daerah dengan pertambangan yang dimulai sejak ratusan tahun lalu, Kepulauan Bangka Belitung menyisakan banyak lahan kritis.
Data terbaru mengungkapkan lahan kategori sangat kritis dan kritis mencapai 167.104 hektar.
Hal itu mengundang keprihatinan berbagai pihak. Untuk itu, Pemerintah diharapkan lebih selektif dalam menerbitkan izin usaha pertambangan.
Ketua Masyarakat Pecinta Alam (Maraspala) Bangka Belitung Sapta Qodriah mengatakan, kerusakan lahan pasca-tambang berimplikasi pada rusaknya ekosistem dan mengancam keselamatan jiwa manusia serta berbagai flora dan fauna.
“Komitmen untuk reklamasi sangat penting. Jika dulunya hutan, maka harus ditanami lagi,” kata Sapta kepada Kompas.com, Sabtu (19/8/2023).
Sapta mengingatkan, pertanggungjawaban lingkungan berlaku bagi setiap badan usaha yang melakukan penambangan.
Untuk itu pemerintah diharapkan lebih selektif dalam menerbitkan izin maupun rekomendasi usaha sektor tambang.
Khusus usaha pertambangan, kata Sapta, ada Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang harus dipenuhi pihak perusahaan.
Dalam RKAB termuat gambaran kerja perusahaan mulai dari awal hingga akhir. Termasuk juga di dalamnya soal tanggungjawab sosial dan lingkungan.
“Artinya RKAB tak bisa dianggap enteng. Komitmen perusahaan terhadap nasib pekerjanya termasuk tanggungjawab lingkungan terlihat di sana,” ujar Sapta.