Anggota DPRA Tarmizi SP mengatakan, kepastian Pilkada Aceh pada 2022 mendatang tinggal menunggu keputusan politik pemerintah, dalam hal ini presiden, yang sampai saat ini tak kunjung diterbitkan. Menurut analisa Tarmizi, presiden akan merespon Pilkada 2022 dengan satu syarat yakni rakyat Aceh kompak.
“Jadi untuk menunjukkan kekompakan seluruh rakyat Aceh, jika perlu, mari bapak gubernur, seluruh anggota DPR dari Aceh, DPRA, DPRK, bupati/wali kota, hingga geuchik, kita mogok kerja,” kata Tarmizi dalam interupsinya pada sidang paripurna DPRA, Selasa (4/5/2021).
Bila perlu, kata Tarmizi, seluruh kantor ditutup, sebagai bentuk protes pada pemerintah pusat. “Kemudian baru kita tuntut. Pertama, semua butir-butir MoU Helsinki harus direaliasikan. Yang kedua UUPA direvisi sesuai dengan MoU Helsinki, kemudian Dana Otsus diabadikan, dan UUPA dihargai seperti UU lainnya,” katanya.
Momentum protes ini, kata dia, tidak semata soal pilkada. Tapi menyeluruh tentang kepentingan Aceh.
“Tentang kesejahteraan, ekonomi yang jauh lebih penting dari pilkada,” katanya. Dia mengatakan, perjuangan agar pilkada dilangsungkan sesuai UUPA merupakan tugas bersama stakeholder di Aceh, bukan semata tanggungjawab DPRA.
Menurut dia, keputusan Pilkada Aceh yang diseragamkan dengan program nasional yakni pada 2024, seperti halnya yang disampaikan Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri melalui sepucuk surat kepada gubernur Aceh baru-baru ini, merupakan strategi pusat untuk melihat reaksi Aceh.
“Ini harus kita respon, kita tolak. Karena sengaja ditandatangani oleh dirjen, untuk melihat reaksi rakyat Aceh. Apabila ada reaksi, baru dianulir oleh menteri, maka kita perlu memberi reaksi dengan menolak surat itu,” kata politisi Partai Aceh ini.